Aku Menulis Maka Aku Ada
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh dikemudian hari” (Mama, hlm 84)
_Pramoedya Ananta Toer
Suatu hari saya beserta teman — teman sowan kerumah Guru kami. Seperti biasa kami di sambut di pendopo rumahnya, tak lupa pula kami disuguhkan teh dan beberapa gorengan sebagai pelengkap obrolan kami. Raut wajah yang menggambarkan cahaya seorang guru yang benar — benar kami kagumi. Nasehat — nasehat beliau selalu menyejukkan, beliau selalu menekankan agar kami tetap membaca dan kalau bisa menulis. Dengan suara serak — serak dan lembut kami di beri banyak petuah oleh beliau.
“Menulislah! Tulis apa yang kalian lihat, apa yang kalian rasakan, apa yang kalian dengar. Setelah membaca buku, bedah buku yang kalian baca” Dawuh beliau
Kami menunduk, tak banyak bicara. Ada perasaan malu karena sering kali kami di nasehati betapa pentingnya menulis. Orang — orang besar terkenal karena tulisan — tulisannya. Orang — orang hebat mengenalkan idenya lewat menulis. Para sastrawan menampung kesedihan, kegembiraan dan kejenakaannya lewat kata — kata, para filosof memaparkan gagasan — gagasannya melalui tulisan. Hingga saat ini kita bisa mempelajari ilmu — ilmu dan karya — karya yang mereka tuangkan dalam tulisan.
“Membaca, membaca, membaca lalu menulis” Ungkap beliau pada kami.
Orang — orang hebat zaman dulu tak pernah lepas dari buku — buku. Ide — ide dan gagasanya berasal dari buku dan realita zamannya. Seorang penulis pasti membaca ratusan bahkan ribuan buku. Tiap tempat, tiap saat mereka membaca lalu ditulisnya apa yang mereka dapatkan dari buku — buku dan fenomena disekelilingnya.
Para bapak bangsa kita mereka membaca dan menulis hingga begitu banyak buku — buku yang mereka tulis tersebar di toko — toko buku. Melalui tulisannya mereka seakan tak pernah mati, mereka masih ada dalam benak Bangsa Indonesia. Tulisan — tulisanyalah yang membuat mereka terus ada. Ide dan gagasannya masih menjadi bahan kajian,, bahan diskusi tetang kebangsaan. “Ingatlah! dari dalam kubur, suaraku akan lebih keras dari pada dari atas bumi” Begitu ungkapan Tan Malaka, dan terbukti hingga hari ini gagasannya terus menggema seantero negeri.
Para Filosof Yunani kuno semacam Plato, Ariestoteles dst, masih abadi sampai saat ini. Plato memperkenalkan Socrates sang guru lewat tulisan — tulisannya, ia menulis gagasan — gagasan gurunya, lewat tulisan ia mengatakan Socrates benar — benar ada dan pernah hidup di dunia. Mereka abadi karena tulisan — tulisannya. Mereka mati ribuan tahun yang lalu, namun siapa sangka mereka masih terkenang hingga abad ini. Rene Descartes, Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, Sigmund Freud dan para Filosof lainnnya namanya akan terus terkenang sampai generasi berikutnya karena gagasannya yang mereka tulis.
Para sastrawan menuangkan imajinasinya lewat tulisan, cerita — cerita dari masa lampau, memotret kejadian — kejadian nyata berbagai peristiwa penting lalu diceritakan kepada khalayak lewat tulisan. Perang, penculikan, pembunuhan, ketidakadilan. Lewat karya sastra mereka mengkritik para penguasa yang lalim. Menggempur lewat tulisan — tulisan yang tajam tanpa tendeng aling — aling hingga membuat para penguasa menjadi gusar. Ada yang mati dibunuh, busuk di penjara, hilang tak tahu rimbanya. Tetapi lewat tulisan — tulisannya mereka menyadarkan rakyat yang tertindas, mereka memberi energi keberanian untuk memberontak pada penguasa. Tulisan — tulisan mereka tak pernah mati, tak hilang ditelan angin.
Ide — ide, gagasan — gagasan, ilmu pengetahuan tak akan pernah mati selama masih ada yang menulis. Menulis membuat manusia jadi ‘ada’. Menulislah! cerpen, novel, puisi, opini, review buku, esai dst. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata dalam bukunya seri terakhir tetralogi pulau buru “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, maka ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah” atau seperti adagium latin kuno berbunyi “Verba Volant Scripta Manent”. Apa yang terkatakan akan segera lenyap dan apa yang tertulis akan abadi.